Jiwa yang resah membawa kita pada jalan yang tak bertepi dan diselimuti kabut kegelapan. Pelita hati akan menjadi padam oleh kebimbangan yang tak berujung tak berpangkal, dan tak akan pernah menunjuki pada jalan yang terang.
Jiwa yang resah akan membungkam ketajaman pikiran. Manusia tidak mampu membaca peta kehidupan dengan bijaksana, konsentrasi menjadi buyar, semangat juang melorot, dan rasa apatisme akan menghancurkan segalanya. Keresahan akan membuat hati makin berkarat dan tak mampu lagi membaca kebenaran, serta gagal membedakan baik dan buruk.
Jiwa yang resah berkepanjangan akan berujung pada frustasi. Hari-hari dijalani bertaburan penyesalan dan kekecawaan. Jangankan mempercayai orang lain, diri sendiripun bisa ia benci dan sakiti.
Yakinlah, ujian dan cobaan seberat apapun bukanlah wujud dari kebencian Allah. Justru memberi peluang bagi seorang hamba untuk semakin introspeksi diri. Bagi seseorang yang tangguh, kualitas iman merupakan modal utama dalam menempuh onak duri kehidupan. Bukankah badai pasti berlalu sebagaimana kegelapan malam akan sirna oleh mentari pagi, selama kita bersikap gigih, selalu berusaha dan berdoa.
Ujian hidup malah menempa kematangan dalam menatap dunia yang sesungguhnya. Barangkali dalam kacamata sebelumnya, kita hanya melihat dunia dari satu dimensi. Setelah dirundung masalah mata batin pun terbuka, bahwa banyak sudut yang belum diamati dan dipelajari. Tak ada kusut yang tak selesai, tak ada dilema yang tak terpecahkan. Karena sebenarnya pangkal dari kusut itu bermula dari semrawutnya hati membaca persoalan. Maka berhasil ataupun gagal, berjaya ataupun tenggelam, sudah menjadi hal yang lumrah untuk dihadapi.
Maka, untuk memperoleh ketenangan jiwa hanya didapat dengan meningkatkan kekuatan iman dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena hanya dengan ibadah kita bisa tersenyum ikhlas saat duka datang menyapa.